83% Game Mobile Gagal Setelah Tiga Tahun Usianya

Lintang Ayomi |

83% Game Mobile Gagal Setelah Tiga Tahun Usianya

Berdasarkan sebuah laporan, 83% game mobile gagal setelah tiga tahun. Selain itu, 43% game mobile dibatalkan di saat pengembangannya. Padahal, di Indonesia sendiri pasar mobile game sangatlah masif. Kompetisi esport untuk platform mobile juga begitu banyak. Berbagai genre untuk platform mobile juga banyak pemainnya, mulai dari genre battle royale seperti PUBG Mobile, hingga MOBA seperti Mobile Legends. Sayangnya, di antara ratusan lebih game mobile yang bisa diunduh di Play Store atau App Store, hanya beberapa yang diunduh oleh pemain.

Baca juga: Review realme 10 Pro 5G – Main Game Mulus dengan 120 Hz

Hal ini juga terjadi di kancah industri game internasional, sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Laporan ini dimunculkan oleh Atomik Research for SuperScale’s Good Games Don’t Die and Shared dengan mewawancara 500 pengembang game yang ada di Amerika Serikat dan Inggris Raya. 

Laporan tersebut mengungkapkan bahwa game mobile mencapai titik tertinggi pendapatan mereka selama 12 bulan setelah perilisannya. Ketika 76% mencapai titik tertinggi pendapatan mereka di tahun pertama, hanya 4% dalam tahun kedua perilisan. 

Hal ini kemungkinan disebabkan konten baru yang dirilis untuk game mobile, dengan temuan bahwa 38% developer tidak merilis pembaruan secara rutin untuk game yang mereka rilis. Selain itu, kurang dari setengahnya memberikan update bulanan playerbase, dan 5% game yang hanya benar-benar menerima dukungan 7 tahun setelah perilisan.

Kemudian, dari laporan ini 78% game mobile lebih memilih membuat game baru, meski nyatanya memiliki nasib yang serupa. Bagaimanapun juga, dari developer-developer yang diwawancara ini tidak mau membuat game karena tren. Lalu, 30% dari mereka menyatakan bahwa pasar sekarang sangat sulit untuk diraih. 

“Banyak pengembang game mobile merasa sulit untuk tetap menguntungkan dalam menghadapi tantangan seperti ATT, persaingan berat di pasar seluler yang matang, dan kondisi ekonomi makro seperti inflasi tinggi,” ungkap Ivan Trancik, pendiri SuperScale.